Kepada Kaum Miskin

Bagi seorang yang hidup di Desa, saya cukup merasakan rasa yang dirasakan oleh kaum miskin desa dan mungkin dialami juga oleh kaum miskin di Kota. Kemiskinan seperti diibaratkan kehidupan neraka dunia. Alam semesta dan segala isinya agak tak berpihak pada kaum ini, dan orang-orang menutup mata atas penderitaannya.

Yah… Saya pakai istilah menutup mata karena mungkin mereka merasakan iba tapi pura-pura tak melihat penderitaan yang dialami kaum yang tak beruntung itu. Saya tidak mengatakan semua orang, tapi sebagian orang, mungkin. Kaum miskin seolah dipandang sebagai tontonan yang menarik bagi sebagian orang. Mungkin mereka bisa bicara tak begitu… Tapi itulah yang dirasakan dan terjadi.

Saya teringat pepatah yang mengatakan “Roda itu berputar, tak selamanya hidup selalu di atas atau di bawah”, tapi kita sering lupa bahwa roda memiliki rem. Jika roda sudah direm dan berhenti berputar, maka yang di atas akan selalu di atas dan begitu pula sebaliknya. Kaum miskin seolah direm agar mereka selalu miskin dan menderita, sehingga itu menjadi tontonan bagi para elit untuk dinikmati.

Saya teringat sebuah pertanyaan yang saya baca, pertanyaan yang ditanyakan oleh seorang penulis buku Homo Deus sekaligus seorang filsuf.
Sebenarnya, apa yang menjadi alasan bahwa sebagian manusia lebih pantas hidup bahagia dan makmur dibanding dengan manusia yang lainya?

Mungkin itu pertanyaan yang tak harus dijawab, tapi itu harus kita renungkan sebagai manusia. Kaum miskin itu merasakan kegelisahan dan kesengsaraan, yah… saya merasakan itu dan hal semacam itu adalah fitrah manusia, yaitu merasakan apa yang orang lain rasakan, karna kita sama sama manusia. Saya hanya ingin mengatakan kultur kita adalah kultur feodal. Kita tidak bisa lepas dari yang namanya feodalisme. Warisan yang diturunkan oleh para kompeni belanda yang menikmati kesengsaraan warga pribumi pada masa penjajahan.

Iyah… Belanda memang sudah pergi, tapi sistemnya masih kita anut dan saya rasakan itu. Perbedaan feodalisme dulu itu membedakan antara kaum pemodal dan kaum buruh (miskin), dan sekarang kita pakai itu untuk membedakan orang miskin dan orang elit serta menikmati tontonan dari kesengsaraan kaum miskin dari bangsanya sendiri. Seolah kita kita berfikir kaum miskin tidak patut untuk bahagia dan dihormati.

Kita hanya dituntut untuk hormat kepada orang yang punya modal (Uang), selama orang itu punya uang yang melimpah maka hormatilah mereka. Feodalisme bukan hanya berbicara tentang tuan tanah dan buruh tani, tapi dengan definisi yang lebih abstrak dan luas, feodalisme adalah tatanan masyarakat yang hirarkis, membedakan antara yang miskin dan yang elit. Memang tak semua elit itu feodal, tapi sebagian ada yang seperti itu dan saya merasakannya.

Kaum miskin ditindas oleh bangsanya sendiri, lewat kebijakan dan perilaku sehari-hari. Peradaban macam apa yang kita dapat jika kita berfikir sebagian manusia lebih pantas bahagia dan dihormati karna dia punya uang?

Apakah si miskin tak pantas bahagia karna dia tak punya uang?

Apakah dia tidak pantas bahagia karna dia bodoh dan tak sekolah?

Atau dia tak pantas dihormati karna dia bukan bagian dari para elit?

Dengan semiotik yang tajam, kita dapat merasakan dan menjabarkan itu. Manusia harus dihargai bukan karna dia sekolah tinggi, bukan dia punya harta banyak, bukan dia seorang yang punya yang punya jabatan. Kita menghormati manusia karna dia adalah manusia, setiap manusia butuh pengakuan dan penghormatan terlepas dia siapa. Hakikatnya manusia itu butuh dihargai, itu yang ada dalam ilmu psikologi yang dikatakan oleh Freud, tokoh dari aliran psikoanalitik.

Perjuangan kaum miskin tentu berbeda dengan kaum elit. Si miskin berjuang dengan sekuat tenaga untuk hidup besok, berbeda dengan kaum elit, mereka berjuang untuk menggandakan harta simpanannya dengan dijadikan modal. Kaum miskin selalu tertekan oleh keadaan, apakah hal macam ini bisa kita sebut takdir?

Sebagian orang mungkin berfikir ini adalah takdir. Tidak!, Ini bukanlah takdir semata. Ini adalah permainan tak terlihat dari sebagian orang, sebagaimana meminjam istilah dari Adam Smith ini semacam invisible hand (tangan tak terlihat).

Kita anggap ini adalah hukum alam yang berjalan natural sehingga kita sebut itu takdir, tapi jika berfikir dan mencoba masuk untuk memahami itu lebih dalam, ada permainan yang dilakukan oleh sebagian kaum dan permainan itu disebut invisible hand permainan dari tangan yang tak terlihat. Saya kira kita dibuat seolah tak berdaya dalam memahami ini. Kita dibuat untuk memahami kemiskinan hanya sebatas angka, padahal hal semacam itu jelas tak berguna. Kemiskinan tidak bisa dimengerti dengan hitung hitungan matematik, jauh di dalam sana kita diminta untuk memahami persoalan semacam ini dengan semiotika yang lebih tajam dan dalam. Ada kecemasan di lubuk hati si miskin untuk menafsirkan fenomena ini dan hal semacam ini perlu kita fikirkan.

Diterbitkan oleh N

Mahluk Pluto Penguasa Bumi

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai